Ga kerasa udah 2 bulan lebih saya duduk di bangku kuliah selama
menjadi maba (mahasiswa baru), waktu memang ga terasa dan tiba-tiba udah
berlalu begitu cepat.
Kamis, 26 Desember 2013
Kamis, 19 Desember 2013
Hobby ga harus mahal
Setiap orang di dunia ini pasti
mempunyai hobi yang berbeda-beda, tergantung dari suatu hal yang di gemari
orang tersebut. Saya sendiri memiliki hobi yang bisa di katakan banyak orang
yang menggemarinya juga, hobi saya ini berhubungan dengan yang namanya
otomotif. Tidak tahu kenapa saya sangat menyukai sesuatu yang berhubungan
dengan otomotif, baik itu yang berhubungan dengan mobil ataupun motor. Bagi
saya sesuatu yang berhubungan dengan otomotif itu ada daya tariknya tersendiri.
Saya gemar sekali membaca majalah
atau mencari informasi melalui internet yang berhubungan dengan otomotif, baik
itu tentang modifikasi,tips cara merawat kendaraan,dan model kendaraan terbaru.
Banyak orang tahu bahwa hobi seperti ini mungkin tidak memerlukan biaya yang
sedikit, karena banyak memerlukan biaya untuk menyalurkan hobi yang satu ini.
Akan tetapi bagi saya, hobi bukanlah suatu hal yang harus memerlukan suatu
biaya yang besar. Dengan kita memahami suatu hal yang kita gemari, akan ada
banyak cara untuk menyalurkan hobi tersebut dan tidak harus mengeluarkan biaya
yang besar.
Selasa, 03 Desember 2013
Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
KASTA perspektif Agama Hindu
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama
Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep
tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga
menjadi pendeta, maka ia berhak
menyandang statusBrahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak
dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam
suatu bidang tertentu (Manawa Dharmasastra). Seperti yang dikemukakan diatas
bahwa kata Kasta sama sekali tidak ditemukan dalam naskah suci Hindu. Bahkan
dalam Weda yang merupakan kitab suci umat Hindu sebagai wahyu Tuhan, juga tidak
mengenal istilah kasta melainkan hanya warna. Berikut adalah beberapa naskah
Hindu di Bali yang menyebut berkaitan dengan warna:
a. Yajur Weda XXX.5, sebagai berikut;
Brahmane brahmanam,Kshtariya
rajanyam, marudbhyo Vaishyam
tapase Sudram.
(Tuhan
telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, Ksatria untuk perlindungan,
Vaishya untuk perdagangan dan Sudra untuk pekerjaan jasmani)
Contoh
lainnya dapat dilihat dalam Yajur Weda XVIII. 38 dan Yajur Weda XXXI.II
b. Reg Weda X 90.12 sebagai berikut:
Brahmanosya nwkhamasid bahu
rajdnyah krtah, uru tadarsya yad
vaishyah padbhyam suro
aja yata
(Brahmana
lahir dari wajahnya Tuhan, dan Ksatria lahir dari kedua bahunya, Wesia
dilahirkan dari perutnya dan dari kakinya lahirlah Sudra)
c. Bhagavad Gita IV.13 sebagai berikut;
Caturvarnyam maya srstam
Guna karma vibagasah
Tasya kartaram api mam
Viddhi akartaram a vyayam
(Catur
warna Aku ciptakan berdasarkan guna dan karma. Meskipun Aku sebagai
penciptanya, Aku mengatasi gerak dan perubahan)
Contoh
lainnya dapat dilihat dalam Bhagavad Gita XVIII.41.
d. Sarasamuccaya, sloka 58.
Adhitya wedan parisamtirya
Cagni nistwa yajnaih palayitwa prajacca
Bhrtyam bhrtwa jnatisamban dhinasca
Danam dattwa ksatriyah swargameti
(Ada
pun tingkah laku seorang ksatria, mempelajari Weda, senantiasa melakukan agni
horta, melakuka yadnya, menjaga negara, mengawal pasukan bawahannya sampai pada
sanak keluarganya. Memberi Dharma, jika berbuat demikian, kelak alam surge akan
diperolehnya)
Contoh
lainnya dapat dilihat dalam Sarasamuccaya, sloka 57, Sarasamuccaya sloka 59 dan Sarasamuccaya,sloka 60.
Menurut
Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan
Institut Hindu Dharma Denpasar (1974), “Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah
suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali),
oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara
maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak
cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu.
Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini
adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang
dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang
dikenal, melainkan “warna” dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi
manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat
warna ini ada sepanjang zaman”. Beliau juga menambahkan bahwa kebanggaan
terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi
merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu
tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem
Warna. Sementara itu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga turut mengkaji
serta meneliti kebenaran “kasta” yang ternyata juga bertentangan dengan ajaran
Agama Hindu. Hal ini ditegaskan dan dibuktikan dengan dikeluarkannya Bhisama
untuk meluruskan pemahaman Umat Hindu di Indonesia khususnya Bali. Bisa
dilihat dalam Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor
: 03/ Bhisama/ Sabba Pandita Parisada Pusat/ X/ 2002 tentang Pengamalan Catur
Warna. Sedikit dibagian
penjelasan terkait latar belakang Bhisama ini adalah bahwa ajaran Catur
Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab
Suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (hindu) lainnya adalah ajaran yang
Mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem
Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan
konsep Catur Varna. Penyimpangan tersebut sangat meracuni perkembangan Agama
Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang timbul karena
penyimpangan tersebut sehingga merusak citra Agama Hindu sebagai agama tertua
di dunia.
KASTA perspektif sosial budaya
Dilihat
kondisi kekinian di Bali dalam konteks kasta, masyarakat tengah berada dalam
transisi menuju pada Ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu) yakni warna yang
tentu mengacu pada kesetaraan. Namun sebagian masyarakat Bali masih saja
berpikir kuno ingin tetap mengajegkan (memberlakukan) sistem kasta
seperti pada masa kerajaan atau masa kolonial Belanda dahulu. Padahal kasta
sendiri merupakan lumbung permasalahan konflik sosial di Bali. Sesungguhnya
Kasta juga merupakan senjata ampuh yang digunakan pada masa pemerintahan
kolonial Belanda melalui politik divide et impera (politik adu domba). Hampir
di semua daerah di Bali pernah merasakan panasnya konflik Kasta tersebut. Mulai
dari Konflik Kasta di Sesetan, Denpasar (1980), Konflik Kasta di Selemadeg,
Tabanan (2005), Konflik Kasta di Desa Tampak Siring, Gianyar (2006), Konflik
Kasta di Desa Manggis, Karangasem (2006) dan Konflik Kasta di Desa Tusan,
Klungkung (2007) adalah sedikit contoh konflik sosial yang berakar dari Kasta.
Selain konflik diatas yang bertalian dengan konflik kasta antar banjar bahkan
desa adat, terdapat juga permasalahan sosial lainnya yang hingga kini
senantiasa masih dipermasalahkan. Salah satunya adalah perkawinan antar kasta.
Jika dulu Bali memiliki hukuman Adat yang sangat kejam yakni labuh gni (dibakar
hidup-hidup), “labuh batu” (dibuang ke laut dengan batu pemberat), ditikam
dengan keris, diasingkan (diselong) ke seberang tanpa biaya hidup dll terhadap
mereka yang melakukan perkawinan antar kasta, kini kendati masyarakat Bali
tidak lagi menerapkan hukuman tersebut seiring perkembangan zaman tetap saja
larangan-larangan masih eksis hingga kini. Bagaimana perkawinan antar kasta
masih sering menghadapi ancaman serius. Pelarangan tersebut lebih sering muncul
dari mereka dengan keluarga kasta lebih tinggi dengan mereka yang berkasta
lebih rendah. Kini pun masih sering kasta lebih rendah melarang terjadinya
perkawinan antar kasta. Bahkan perjodohan di Bali masih terjadi dikarenakan
adanya pembedaan mengatasnamakan Kasta tersebut. Ironisnya tidak hanya terjadi
dalam perkawinan, hanya berstatus pacaran saja sudah akan mendapat batu
sandungan/ ancaman serius dari mereka yang masih ingin melanggengkan Kasta. Hal
ini tentu sangat diskriminatif. Diksriminatif termasuk dalam pergaulan sosial
sehari-harinya. Belakangan konflik kasta tidak hanya muncul secara kasat mata
namun justru lebih terang-terangan mencuat ke dalam konflik adat.
KASTA perspektif Hukum dan HAM
Yang
menjadi salah satu syarat dalam suatu negara Hukum baik negara tersebut
menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law adalah Perlindungan HAM. Di
zaman yang modern sekarang ini semua negara di dunia mendeklarasikan negaranya
sebagai negara Hukum. Indonesia adalah salah satunya. Hal ini sudah jelas
secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia
1945 bahwa Negara Indonesia adalah Hukum. Jadi disini Indonesia sebagai Negara
Hukum wajib menjunjung tinggi HAM dan memberikan perlindungan terhadap HAM.
Hukum sangat berkaitan dengan HAM oleh karena itu tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Hal ini diperkuat oleh sejumlah Instrumen HAM Internasional dan
Instrumen HAM Nasional yang sangat menentang adanya sikap diskriminatif. Hukum
sendiri dengan asasnya yakni Equality before the law menunjukkan bahwa Semua orang sama
kedudukannya di mata Hukum. Artinya baik mereka golongan masyarakat atas
seperti bangsawan, pejabat, dan sebagainya harus diperlakukan sama dengan
siapapun (non diskriminatif) dihadapan Hukum. Berikut ini merupakan Instrumen
Hukum HAM Internasional dan Instrumen HAM Nasional yang bertentangan dengan
sikap-sikap diskriminatif termasuk Kasta.
Instrumen
HAM Internasional
1.
Charter of United Nations (Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa) 1945
Pasal
1 ayat (3) dari piagam tersebut memuat salah satu tujuan didirikannya PBB,
yakni untuk penghormatan terhadap HAM sebagai berikut:
“To achieve international cooperation in
solving international problem of an economic, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for
human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to
race, sex, language, or religion.”
(Untuk
mewujudkan kerjasama Internasional dalam memecahkan masalah-masalah
Internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat
kemanusiaan dan untuk memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM
dan kebebasan dasar untuk semua orang tanpa pembedaan atas keturunan (ras),
kelamin, bahasa dan agama).
Penegasan
terhadap ketentuan diatas terdapat pada pasal 13 ayat (1) huruf b.
2.
Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Sedunia HAM PBB) 1948
Pasal
1 deklarasi ini menyebutkan sebagai berikut.
“All human being are born free and equal in
dignity and rights. They are endowed with
reason and conscience and should act towards one another in a spirit of
brotherhood”
(Semua
manusia dilahirkan mempunyai kesamaan dalam kemuliaan dan hak asasi.Mereka
dikaruniai akal sehat dan kesadaran hati nurani, serta harus bertindak satu
sama lainnya dalam semangat persaudaraan).
Pasal
2 ayat (1) sebagai berikut:
“Everyone in entitled the rights and freedom set
forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race,
colour, sex, language, religion, political social origin, property, birth or other status”.
3.
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik) 1966
Perlindungan
terhadap HAM dapat dilihat dalam alenia pertama (I) dan preambulnya yakni
berkaitan dengan prinsip “kesetaraan martabat” dan “kesamaan hak” (inherent
dignity and equal right) sebagai berikut:
… ” recognition of the “inherent
dignity” and of the “equal and in alienable rights” of all members of the human family is the
foundation of freedom, justice and peace in the world”.
Dikaitkan
dengan kasta di Bali, kasta sangat tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan
martabat dan kesamaan hak karena pada hakekatnya sistem kasta memandang rendah
martabat manusia yang berasal dari kasta rendahan dalam bentuk tindakan
diskriminatif dan pembedaan.
Pasal
2 ayat (1) kovenan ini juga mewajibkan negara peserta untuk menghormati dan
melindungi HAM tanpa adanya diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik dan pandangan lain, kebangsaan atau asal-usul
sosial,kepemilikan, kelahiran dan status lainnya. Indonesia sendiri telah
meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 12 tahun 2005 sehingga Indonesia
menyatakan diri terikat pada kewajiban Internasional dan apabila terdapat
pelanggaran oleh Indonesia maka dapat dipermasalahkan di depan lembaga
Internasional.
4.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, sosial dan Budaya) 1966
Alenia
I kovenan ini merupakan penegasan kembali prinsip kesetaraan martabat dan
kesamaan hak. Sementara dalam batang tubuh kovenan ini yang perlu diperhatikan
adalah pasal 15 ayat (1) huruf a tentang hak budaya sebagai berikut:
“The states parties to the present covenant
recognize the rights of every one; to take part in cultural life”
(Negara
peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk mengambil bagian dalam
kehidupan kebudayaan).
Hal
ini berkaitan dengan contoh diskriminasi oleh Desa Adat/ Pakraman terhadap
Gending,Klungkung 1980) menyebabkan para Sulinggih tidak dapat berperan serta
dalam mengaktualisasikan diri pada kegiatan upacara agama, padahal kegiatan
beragama merupakan salah satu bentuk dari kegiatan budaya yang tidak tampak
(intangible). Kovenan ini juga telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 11
Tahun 2005 sebagai hukum positif.
5.
International Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial) 1965
Yang
dimaksudkan dengan diskriminasi rasial telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1)
yakni sebagai berikut :
“In this convention
the term “racial discrimination” shall mean any distinction, exclution,
restriction or preference based on race, colour, “descent“, or national
or ethnic origin which has the purpose or
effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an
equal footing of human rights and fundamental freedom, in the political,
economic, social, cultural or any other field of public life”
(Dalam
konvensi ini, istilah “diskriminasi rasial” harus diartikan suatu pembedaan,
pengecualian, pembatasan atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, “keturunan”
atau kebangsaan atau asal-usul etnis, yang bertujuan atau berakibat
hapusnya atau dilemahkannya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar
persamaan HAM dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya atau di bidang kehidupan lainnya).
Kalau
dilihat kondisi Bali, jelas bahwa diskriminasi kasta merupakan diskriminasi
rasial karena hakekatnya terjadi didasarkan atas keturunan (descent). Konvensi
ini sendiri telah menjadi hukum positif di Indonesia melalui UU No. 20 tahun
1999
Pasal
2 ayat (1) dan (2) dari Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk mengutuk
setiap tindakan diskriminasi rasial dan memberikan perlindungan serta menjamin
agar prinsip kesetaraan martabat dan kesamaan HAM dan kebebasan dasar.
6.
Convention Againts Torture and Other Cruel. Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman yang tidak
berperikemanusiaan Tindakan atau Hukuman yang Merendahkan Martabat Manusia)
1984.
Konvensi
ini sangat berkaitan erat dengan sejumlah hukuman adat yang sangat kejam pada
masa lalu di Bali seperti Labuh Geni (dibakar hidup-hidup), Labuh Batu (dibuang
ke laut dengan batu pemberat), ditikam dengan keris,dll; yang mana kesemua hal
tersebut diakibatkan hanya karena melakukan perkawinan antar kasta. Dengan
diratifikasinya konvensi ini merupakan penegasan bahwa hukuman semacam itu
tidak berlaku lagi di Bali dan di Indonesia sendiri. Hal ini dapat dilihat pada
bunyi Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut:
“For the purpose of this convention term
“turture” means any act by which severe pain or suffering, whether physical or
mental …. as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act or a third person has
committed”….
Instrumen
HAM Nasional
1.
Konstitusi yakni UUD Negara Republik Indonesia 1945
A.
Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan.
Crucial point dari pasal 27 ayat (1) diatas adalah terletak pada kedudukan
dari setiap warga negara sama (setara) tanpa ada pembedaan dalam hukum dan
pemerintahan. Jadi jelas dalam hal ini pembedaan dalam bentuk apapun termasuk
Kasta tidak dikenal bahkan tidak ada secara Konstitusional.
B.
Pasal 28B ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Crucial point dari pasal 28B ayat (1) yakni bahwa setiap orang tanpa
pembedaan apapun memiliki haknya masing-masing dalam membentuk keluarga serta
memiliki keturunan melalui perkawinan yang sah. Jadi jelas dalam pasal 28B ayat
(1) bertentangan dengan sistem kasta yang melarang adanya perkawinan antarkasta
dan perlu dipahami bahwa sepanjang perkawinan tersebut sah maka akan memiliki
kepastian hukum dan tentu mendapat perlindungan hukum. Larangan perkawinan
antar kasta jelas bertentangan secara konstitusional dengan UUD 1945.
C.
Pasal 28G ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Jelas
dalam pasal ini memiliki poin krusial pada perlindungan HAM yang hakiki. Setiap
tindakan termasuk pelecehan terhadap kehormatan dan martabat seseorang yang
terjadi akibat sikap diskriminatif oleh kasta sudah jelas bertentangan dengan
UUD NRI 1945 yang menjamin hak-hak konstitusional setiap warga negara.
D.
Pasal 28J ayat (1) menyatakan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Artinya
bahwa demi mewujudkan persatuan Indonesia serta harmonisasi dalam kehidupan
sosial maka setiap orang wajib dan merupakan keharusan menghormati HAM orang
lain tidak peduli terhadap pembedaan baik yang mengatasnamakan kasta atau
apapun itu karena pada hakekatnya setiap orang adalah sama (equal rights).
E.
Dan sejumlah pasal-pasal lainnya dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD NRI
1945 yang mana kesemuanya menunjukkan perlindungan terhadap HAM dijamin secara
konstitusional sehingga pembedaan seperti sistem Kasta di Bali sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan martabat dan hak asasi.
2.
Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
a.
Bagian konsideran menimbang, hurud (d) yang menyatakan “Bahwa bangsa Indonesia
sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan
hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai
instrument Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima
oleh Negara Republik Indonesia”.
Artinya
UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan penegasan bahwa
Indonesia terikat secara moral dan hukum baik dikarenakan Indonesia adalah
anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun dikarenakan Piagam, Deklarasi
serta Konvensi yang juga termasuk dalam Perjanjian Internasional.
b.
Pasal 1 angka 3 tentang pengertian dari istilah diskriminasi yakni
tindakan-tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan berdasarkan agama,
suku, ras, etnik,kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan,
politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan dll terhadap
penikmatan hak-hak tersebut.
Bahwa
benar jika kasta merupakan sikap diskriminatif karena pada hakekatnya ada
diskriminasi antara kelompok keturunan Triwangsa (Brahmana, Ksatrya, Waisya)
terhadap kelompok Sudra (Jaba) wangsa.
c.
Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang dilahirkan bebas dengan
harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat, serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dalam semangat persaudaraan”.
Jelas
dalam pasal ini menunjukkan ada prinsip kesetaraan terhadap harkat dan martabat
setiap orang tanpa terkecuali.
d.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami
atau calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pasal
ini menunjukkan bahwa larangan perkawinan antar kasta menjadi tidak masuk akal
ketika ada intervensi dari orangtua (keluarga) yang mengatasnamakan Kasta tentu
bukan merupakan suatu kehendak bebas karena berada dibawah tekanan bahkan
keterpaksaan. Hal ini masih sering terjadi di Bali dimana ada kesan bukan
anaknya yang akan melangsungkan perkawinan justru seperti orang tuanya yang
ingin kawin lagi karena didasarkan pada kasta tadi bukan kehendak bebas.
Perjodohan juga sering terjadi karenanya sehingga bagaimana Perkawinan bisa
membentuk dan membina keluarga yang sesuai dengan tujuan yang mulia dan luhur
jika prosesnya berlandaskan atas keterpaksaan.
3.
Undang-undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis.
a.
Konsideran bagian menimbang huruf (a) menyatakan bahw manusia berkedudukan sama
di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan
hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun.
b.
Pasal 1 angka (1) terkait dengan pengertian diskriminasi ras dan etnis
yakni segala tindalam berupa pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilahan
dalam penikmatan HAM atas dasar ras dan etnis.
Ras
adalah penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik atau keturunan (Pasal 1
angka (2)).
Etnis
adalah penggolongan manusia atas kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat-istiadat,
bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan lainnya (Pasal 1 angka
(3)).
Diskriminasi
kasta di Bali sendiri memenuhi unsur keduanya sehingga termasuk dalam
diskriminasi ras dan etnis.
c.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis
dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal”.
d.
Pasal 3 UU ini menegaskan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis adalah
untuk mewujudkan suasana kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian,
keserasian dan keamanan di kalangan warga negara yang pada hakekatnya selalu
hidup berdampingan.
e.
Pasal 13 dan Pasal 14 menyatakan bahwa setiap orang yang mengalami kerugian
karena tindakan diskriminasi HAM berdasarkan ras atau etnis dapat mengajukan
gugatan ganti rugi kepada pengadilan berwenang baik secara individu atau
bersama-sama (class action).
f.
Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 adalah pasal-pasal yang mengancamkan hukuman
pidana bagi mereka yang diduga sengaja melakukan diskriminasi, rasa benci,
perampasan nyawa, penganiayaan, pemerkosaan, pencabulan, pencurian dengan
kekerasan atau perampokan kemerdekaan atas dasar rasa tau etnis, diancam dengan
hukuman penjara dari minimal 1 tahun sampai maksimal 5 tahun atau denda sampai
maksimum Rp 500.000.
Daftar
Bacaan
Diantha,Md
Pasek dan I Gd Pasek Eka Wisanjaya, 2010, KASTA dalam perspektif
Hukum dan HAM, Udayana University
Press, Denpasar.
Wiana,
Kt dan Raka Santeri, 1993, Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.
Langganan:
Postingan (Atom)